Powered by Blogger.
RSS

Penaklukan Puncak Pertama: Gunung Ciremai (Part. 5)

14 Juni 2014 - Pendakian Dimulai!

Note: Mungkin ini lebih banyak ke pengalaman dan perasaan aku pribadi, jika ingin melihat manajemen pendakiannya bisa dilihat ditulisan sebelumnya.

Sejak awal mau pendakian siy sebenarnya aku udah merasa ada yang salah dengan tubuhku, tapi masa iya gara-gara itu jadi gak semangat ngedakinya? Ya gak lah ya. Tetep musti semangat. Kami mulai mendaki menjelang pukul 11.00 WIB. Untuk mencapai pos pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kami melewati jalanan aspal dan tanjakan yang tak berujung. Semakin dilihat, semakin ngerasa pupus harapan untuk sampai diatas. Rasanya pengen guling balik aja, mana kaki udah mulai pegel. Tapi kalo segini aja udah kalah, gimana mau sampai puncak?!

Awal keberangkatan kita menuju pos 1

Menjelang tanjakan akan habis, tubuhku bereaksi. Mulai mual dan sepertinya masuk angin (akibat semalaman menemani badai mengamuk di bus). Aku yang awalnya di depan menjadi semakin lama semakin ke belakang. Saat itu, Ria dan Fandi menemani aku. Sebenarnya yang lain juga, tapi mereka segera menuju tempat ngemabil air untuk beristirahat disana. Sedang aku di temani Ria dan Fandi. Sumpah! Aku terkesan sama Fandi yang baik banget. Padahal baru kenal, tapi udah mau aja nungguin dan disusahin sama aku. Tapi kata Ria, “Ketua perjalanan harus gitu Rin. Care sama Tim”. Karenanya, Terima kasih banyak Fandi di manapun kamu berada sekarang.

Entah dengan isyarat dan kode apa, akhirnya Fandi memutuskan untuk duluan menyusul yang lain. Aku tinggal dengan Ria saat itu. Baru kali ini aku ngerasa seperti anak kecil yang di-take care-in sama Ria. Mulai dari mijitin aku ampe aku menggeliat-geliat resah dan gelisah serta mual-mual pengen muntah tapi gak bisa sampe nempelin salonpas dia lakuin. Waduh! Best banget dah friend ku yang satu ini. Gak ada duanya!

CUUUMMMAAAA, sama Ria aku di balsemin ama Geliga. Panas banget! SUMPAH! Pertama, aku gak biasa di pijit. Kedua, aku dibalsemin Ria langsung sama Geliga padahal aku gak pernah pake balsem sepanas itu ke badan. Makin menggeliat-geliat lah aku. Sampe di tempat semuanya berkumpul, aku masih menggeliat-geliat kepanasan akibat Geliga yang diolesin di punggungku. Gak mau lagi lagi deh pake Geliga. Panas banget! Musti siap balsem sendiri, balpirik yang warna Hijau biar gak terlalu panas.

Perjalanan selanjutnya diisi dengan cegukan, mual dan pegal-pegal. Benar-benar gak bisa menikmati pendakian pertamaku ini dengan senang gembira sambil nyanyi-nyanyi. Sama Ria dan Iqna, aku dibantuin untuk gimana caranya biar bisa cepet muntah. Berbagai cara telah dilakukan, tapi emang dasarnya aja gak mau keluar. Akhirnya Ria menyerah dengan bilang “Rini emang gak biasa muntah siy, pasti udah lama gak muntah, jadinya emang susah keluar”. Hahahaaa Yaiyalah, masa iya aku musti muntah rutin sehari sekali, itu mah udah kayak ibu hamil tri semester pertama.

Suasana selagi kami mendaki bersama Fandi dkk

Pendakian yang diisi dengan banyak istirahat ternyata tidak terlalu beda dengan waktu perkiraan yang sudah dibuat oleh Vero. Jadi masih tenang-tenang aja. Sekitaran pukul 12.15 WIB, kami mencari spot yang enak untuk shalat Dzhuhur. Ditemukanlah sepertak tanah sekitaran ukuran 2 x 2 m yang bisa digunain untuk shalat. Kami akhirnya shalat bersama. Oya, saat ini, tim kami sudah terpisah dengan tim Fandi. Mereka berjalan duluan katanya.

Selama pendakian, kami bertemu dengan berbagai macam pendaki baik yang turun maupun yang naik. Semuanya kelihatan ramah. Saling menyapa dan saling menyemangati. Saat akan shalat, kami bertemu dengan salah satu tim (nanyain shalat) yang nantinya tim ini yang akan lebih banyak diceritakan selanjutnya.

Suasana mendaki saat hanya tim kami aja

Setelah selesai Shalat Jamak Qasar Dzhuhur dan Ashar, kami melanjutkan pendakian kami. Huah! Rasanya kaki udah pegel poll. Tapi, kalo berhenti disini, hmm gak ada artinya dong pendakian ini. Dipaksa-paksain lagi buat ngedaki. Hingga akhirnya kami tiba di pos kuburan kuda.

Selagi beristirahat ditemani dengan fitbar, datanglah sang pangeran berkuda putih eits! Bukan! Tapi datanglah tim lain yang juga akan beristirahat di pos ini. 4 orang. Mereka duduk di depan kami duduk. Ria berinisiatif menawarkan fitbar ke mereka dan akhirnya kamipun berkenalan. Mereka adalah Pian, Vindha, Jhipau (nama asli Fauzi) dan Nicholas (Nama asli Nando).

Selanjutnya, kami bertemu lagi di pos apa gitu (lupa namanya) untuk makan siang. Saat itu maag ku udah kambuh. Lengkap sudah penderitaanku. Masuk angin, mual, kaki pegel-pegel, ditambah maag. Sudahlah! Akhiri saja semua ini! Aku sudah tidak sanggup! (Langsung naik tebing terus terjun bebas(. Hihihiii bercandanya keterusan :-D . Jadi, tim ku yang solid banget ini yang anggotanya baik-baik dan suka menolong, memasakkan air panas untuk menyeduh energen untukku. Sedangkan tim mereka memasak air apa gitu namanya yang dari gula merah dan jahe itu (lupa).

Ketemu lagi sama tim mereka

Setelah sedikit-sedikit ngobrol, kami akhirnya secara perlahan-lahan namun pasti saling melebur menjadi satu dalam pendakian ini (Sambil nyanyi “bersatulah semua... seperti dahulu...”). Kami, terutama aku banyak dibantu dalam tim ini. Terutama tenaga cowok hahahaa Secara kami Cuma punya satu cowok, dan itupun hanyalah Udin. Peace din!

Selama pendakian ini, aku berada di belakang, ditemani oleh Iqna, Udin, Pian, dan Hasan. Pian dan Hasan sering ganti-gantian menjadi swipper (yang suka mencuri di Kartun Dora). Ria dimana? Jelas dia udah di depan. Langsung keluar karakternya Ria. Yah, gimanapun juga sahabatku yang satu ini emang gitu. Jangan salah paham loh, bukan berarti dia udah gak peduli lagi sama aku terus dia kabur duluan di depan, namun karena dia tahu aku gimana, lingkungan sekitarku gimana, siapa yang jagain aku. Aku masih bisa merasakan kehadiran Ria kok meski dia sering kali jauh di depan (Asyiiikk). Dan akupun sebagai sahabatnya gak mau menghambat dia untuk mencapai “puncak”nya. Meski gak ada lisan yang terucap dari mulut kita berdua, kita berdua tahu, “This is a better choice for us”.

Aku baru nyadar ternyata aku sebel ngedaki di siang hari. Kenapa? Karena semakin kamu ngeliat keatas, semakin ngerasa kok ini gak sampai-sampai ya ke puncak. Berapa lama lagi ya? Kok jauh banget siy? Itu ada yang ada di pikiran saat ngedaki siang. Capeknya lebih berasa. Lebih enak malem, karena gelap, jadi kalopun liat keatas gak kelihatan seberapa jauhnya. Langsung bisa atur mindset, sebentar lagi puncak kok.

Oya, disiang itu, aku rada sebel niy sama hasan karena dua hal. Pertama, dia itu selalu bilang “Yaelah, gak usah ngitung waktunya tinggal berapa lagi. Jalan ajaa”. Hm, rasanya pengen aku ikat pake tali terus aku gulingin deh dia balik lagi ke bawah. Mungkin dia emang orangnya yang gak teratur. Kalo aku mah paling gak kita harus liat perencanaan juga biar lebih aman. Emang siy kita amatiran, tapi gak gitu juga. Jangan-jangan hasan itu golongan darah B ya, bebas gitu sukanya. Omongannya aja rada kurang dijaga. Kalo aja dia tahu itu manajemen perjalanan itu yang buat Vero. Hasil Vero searching di google mantengin segitu banyak cerita tentang gunung ciremai hingga dapat buat manajemen perjalan lengkap gitu, kira-kira dia bakal ngomong hal yang sama gak ya? Dengan nada yang seperti tidak menghargai usaha kerja keras orang lain. Dasar sombong!

Kedua, aku sebel sama dia. Kalo ngeliat dia ngelakuin sesuatu hal dengan gak dengan ikhlas, buat hati makin berat aja. Rasa segan makin bertambah. Rasa pertemanan makin menghilang. Yah pokoknya gitu deh. Kesan pertama aku terhadap Hasan gak baik pake banget. Sekarang gimana? Ya gitu deh. Whatever dah! (Niy orang kalo mau temenan sama aku kedepannya, butuh waktu bertahun-tahun buat ngeruntuhin wall yang aku bangun buat dia).

Waktu lagi naik berlima itu, aku kenalan sama pian. Tapi aku selalu manggil dia pain. Hahhaaaa. Lupa terus kalo namanya pian bukan pain. Pian orangnya baik, tapi rada pendiam. Kelihatan selalu meratiin kita, sampe kadang ngeri gitu. Mana dia gede gitu kan orangnya, kayak preman. Tapi dia gak pernah buat hal yang aneh-aneh. Suka ngebantu dan perhatian sebenarnya. Baik banget tapi gak banyak omong. Dia yang kayak gitu sangat menyentil insting keisenganku. Jadi mikir, pengen dah sekali-kali ngajakin pian main truth or dare terus ntar aku kasih dare dia harus selalu menjawab dan menanggapi apa yang lagi diobrolin saat ngobrol minimal dengan tiga kalimat yang lengkap dengan SPOK. Hahhaaaaaa Penasaran!

Saat tiba di Pos Pangalap

Lanjut lagi ceritanya ya. Siang akhirnya berganti malam. Kami terus mendaki dan mendaki. Tanpa mengenal lelah, tanpa mengenal putus asa. Kami melangkahkan kaki menuju puncak gemilang cahaya mengukir cinta seindah asa (lagu AFI, lanjutkan sendiri..). Hingga sekitar pukul 20.00 WIB, kami beristirahat di salah satu pos untuk makan malam. Ternyata eh ternyata di pos itu Fandi dkk sudah ngediriin tenda buat bermalam. Jadi ketemu lagi deh sama mereka.

Waktu itu badanku udah lemes banget. Makan rasanya udah gak sanggup lagi kalo gak dipaksain disuapin Vero dan Ria. Lumayan lah masuk 5 suap nasi. Tidak lupa juga aku minum lagi obat maag ku. Khawatir banget kambuh lagi. Soalnya sudah malem banget baru makan nasi lagi, siang gak makan apa-apa. Huah! Udah habis ini masih harus terus ngedaki lagi ampe paling gak sampe Pos Batu Lingga atau kalo bisa sampe Pengasinan. Masih berjam-jam lagi. Cuapek tenan euy!

Semakin tinggi mendaki semakin pendek pernafasannya. Mana malem lagi. Jalur yang dilalui juga makin menantang dan sempit. Alhamdulillah banget ketemu sama tim mereka yang kebanyakan cowok itu. Saat malam, aku berada di tengah-tengah rombongan. Aku beberapa kali di bantu oleh Hasan dan oleh orang yang belakangan ini aku ketahui namanya adalah Nando.

Jadi ceritanya, kan awalnya Hasan yang ada di depan aku buat bantuin gitu (kita pake sistem cowok ngejagain cewek satu-satu), tapi lama-lama malah hasan di belakangku. Di depanku ada seorang cowok tinggi kurus yang sebelumnya pernah aku temui sekilas liat muka doang. Dia ngenalin diri dengan nama Nicholas (Nando aslinya).

Sedikit selentingan tentang Nicholas saat itu adalah dia orang yang cuek, banyak omong, tapi sebenarnya perhatian. Waktu aku lagi kesusahan dia bantuin. Meski kadang dia jalannya jauh kedepan atau lagi dibelakang aku, Tanpa aku ngemis-ngemis minta tolong, dia akan balik lagi ngebantuin atau kalo lagi di belakang aku dia bakal bilang “Sini, Gue duluan..”. Waktu bareng Nicholas aku jadi berpikir, Dia sedikit banyak mirip Ria. Jadinya aku gak ngerasa segan sama dia meski kita baru kenalan dan baru ngobrol sedikit. Aku udah ngerasa jadi temen dia meski tanpa pengucapan lafadz bismillah. Hahahaaaa

Oya, terus aku juga sempat dibantuin sama Jhipau alias Fauzi. Hm, Dia ngomongnya suka ceplas ceplos tapi suka bercanda juga, meski kadang rada garing. Awalnya aku pikir dia usianya beneran 19 tahun. Tahunya.... Dia pantes dipanggil “Kak”. Terus, aku senengnya juga dia gak malu bilang profesinya apa. Karena menurut aku gak ada yang perlu dimaluin. Toh, dia termasuk cowok yang luar biasa.

Ini yang namanya Jhipau

Pada saat istirahat, adalah saat-saat untuk mengenal anggota tim yang lain, terutama yang cewek. Cewek yang pertama ku temui adalah Vyndha. Tapi yang aku ajak kenalan duluan adalah Farah, terus Vyndha dan terakhir teh Dede, Soalnya dia selalu terdepan (kayak slogan iklan).

 Kenalan sama Farah, itu waktu aku dan Dia sama-sama capek. Kita duduk istirahat berurutan. Terus iseng aku tanya namanya siapa. Awalnya aku kira Rara, tapi ternyata katanya Farah. Maklum udah malem, napasnya udah pendek, konsentrasi udah mulai buyar. Kalo sama Vyndha aku gak kenalan langsung gitu, soalnya aku pikir dia galak alias senggol dikit, bacok dan gak suka kehidupannya digangguin (ngebayanginnya seperti yankee di anime-anime Japan). Tahunyaaaaa... Pantengin aja cerita selanjutnya ya. Sama teh Dede itu aku sebenarnya sempat ada di depan dia pas naik, Cuma gak sempat kenalan. Kenalannya pas kita udah nemuin tempat buat camping. Baru aku tahu namanya.

Aku dan Teh Dede

Oya, aku melupakan seseorang lagi. Namanya Kopral (nama panggung), aslinya si Ari (Anak Republik Indonesia. Bercanda J). Aku tahu namanya kapan ya? Kalo gak salah pas mau bentang tenda juga deh. Menjelang sampai ketempat kita akan camping, Kopral ini yang bantuin aku. Aku kira dia itu dari Tim lain yang kebetulan ada di depan.

Nicholas (pegang tongkat), Kopral (jeket abu-abu), dan Vindha (celana pendek)

Sebelumnya aku mau cerita niy gimana dan apa yang ada dipikiranku selama aku naik gunung. Anak-anak LCC kalo ngeliat aku versi yang naik gunung bakal bilang “Kamu beneran Rini?”. Secara, aku tuh paling suka jalan keliling-keliling desa ampe jauh-jauh, setiap kali jalan aku pasti akan nyanyi. Mulai dari lagu POP, ROCK, dangdut, korea, jepang, english ampe lagu-lagu jaman kita masih kecil pun aku nyanyiin. Ibarat kata, gak sepi. Apalagi misalnya aku gabungnya sama orang sejenis Tiwi, Putri, Ria, Niki, Dina, atau yang lainnya yang suka nyanyi juga. Pasti makin menjadi deh. Tapi, di gunung, nyanyi? Gak sempet buat ngeluarin suara. Cuma bisa nyanyi di dalam kepala.

 Selama mendaki, banyak hal yang aku pikirin. Semua impian dan targetan aku pikirin. Keterima lanjut S2 di UI, terus mau ngelakuin ini itu. Mikirin berbagai kemungkinan yang akan terjadi selama 2 tahun masa kuliah nanti. Berpikir thesis entar mau ambil topik tentang apa. Setelah selesai S2 mau ngapain. Nikah, kerja atau lanjut S3? Mau kerja kemana. Kalo mau lanjut S3 ke USA aku harus ngapain. Ikutan CPNS atau gak. Dan banyak hal lain yang terkait dengan targetanku.

Selain itu, aku juga berpikir mengenai teman-temanku. Aku jadi ngerti apa maksud perkataan Ria, Tiwi, dan Putri saat naik gunung gede, “Coba ada Rini disini, kita gak bakal gini gini gini...”. Saat itu aku berpikir, gini toh rasanya. Aku mulai menghayal, apa jadinya jika yang ngedaki ini adalah kita. Bagaimana suasananya. Apa yang akan diributkan. Siapa yang paling ngotot. Gimana ributnya suasana saat akan memasak makanan. Memikirkannya saja sudah membuatku merasa rindu akan kebersamaan kita.

Aku bahkan berpikir juga. Apa yang akan terjadi dengan kita nantinya. Ncan yang di Tosari sana mengabdi, Putri yang sibuk les english buat persiapan lanjut S2 ke Inggris, Tiwi yang labil dan perlu move on dengan banyak kegiatan, Ria yang juga labil labil gitu sama karir. Apa ya yang akan terjadi satu tahun lagi, dua tahun lagi. Apa kita masih bisa bersikap sama? Sampai kapan ya kebersamaan ini akan ada? Bosan gak ya dengan rutinitas aneh kita nongkrong di detos? Kalo aku menghilang selama 10 tahun, apa mereka akan mengingatku ya? Apakah kita bisa mewujudkan impian kita tinggal di satu kompleks rumah yang sama? Apakah nantinya akan ada Ria yang lain, Ncan yang lain, Tiwi yang lain, Putri yang lain yang akan aku temui kedepannya?

Mengenai diriku sendiri aku juga berpikir. Sikapku. Kebiasaanku. Pribadiku. Ekspresiku. Kata-kataku. Aku pikir dari begitu rumitnya aku berpikir dan mencoba memahami diriku sendiri, aku simpulkan, “Aku adalah botol yang setengah penuh”. Aku gak akan bilang apa indikatornya aku menyimpulkan begitu. Silahkan artikan sendiri.

Ada banyak hal yang aku pikirkan namun tidak bisa aku tuliskan. Kenapa? Karena aku itu hobby berpikir. Gak pernah bisa berhenti berpikir. Pikiranku selalu melompat dari satu hal ke hal yang lain. Jika aku tuliskan, aku akan dibilang orang gila yang terlalu banyak mikir. Jadi sebaiknya, aku simpan sendiri hasil pemikiranku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: