Aku pernah mengalami kegagalan. Sering malah. Setiap
kegagalan itu punya kisahnya tersendiri dan punya emosi tersendiri. Kali ini
yang akan aku ceritakan adalah kegagalanku mendaki puncak, ya, puncak gunung.
Gunung Papandayan – 1,2,3
November 2013
Inilah awal mula aku untuk mewujudkan salah satu mimpiku
yang tertunda bertahun-tahun lamanya. Mungkin ini bukanlah pendakian pertama,
tapi ini akan menjadi puncak yang pertama bagiku, jika berhasil sampai puncak.
Namun, apa mau di kata, segala sesuatu itu tidak selalu bisa berjalan sesuai
dengan apa yang diharapkan.
Awalnya, rencana team untuk mendaki Gunung Papandayan adalah
minggu kedua November 2013, namun karena khawatir musim hujan dan lain-lain,
pendakian dimajukan ke awal November 2013, dan itu artinya bertabrakan dengan
tes yang akan aku ikuti. Ini membuatku galau.
Tes itu, bagiku adalah sebuah amanah dari orang tua. Mau
tidak mau, Suka tidak suka, yang namanya amanah, harus dilakukan. Akhirnya, ku
ikhlaskan puncak pertamaku menghilang. Mungkin kita memang belum berjodoh.
(Kelihatan biasa aja, padahal nangis semalaman gara-gara ini^^).
Ada yang aku pelajari dari kegagalan ini, euforia untuk beli
ini itu yang mungkin tidak terlalu mendesak harus dikurangi dan euforia
pengharapan pun harus lebih di kontrol. Karena lagi-lagi aku harus mengakui bahwa
yang namanya kegagalan itu menyakitkan (pada saat itu juga), namun akhirnya
bisa menyenangkan atau masih menyakitkan tergantung dari bagaimana kita melihat
dan menyikapinya.
Gunung Gede - 11,12,13
April 2014
Puncak Gunung Gede merupakan calon puncak pertamaku juga. Saat
itu aku di Bengkulu ketika rencana ini dimunculkan. Setelah mengalami kegagalan
naik puncak yang pertama, aku rasa aku diantara pengharapan dan kekhawatiran.
Pengharapan untuk sampai puncak (pertama kalinya) dan kekhawatiran untuk gagal
naik lagi.
Setelah aku pikirkan, bulan April 2014 bukanlah musim
penghujan. Seharusnya musim tidak menjadi halangan untuk mendaki kali ini.
Waktu? Waktu yang ditawarkan pertama kali adalah 4,5,6 April 2014. Itu tidak
bertabrakan ataupun mepet dengan waktu tes ku. Maka akupun dengan senang hati
menyambut rencana ini dan segera bersiap untuk secepatnya kembali ke Depok.
Sekitaran dua minggu setelah rencana awal dibuat, terjadi
perubahan waktu karena ternyata salah satu temanku tidak bisa ditanggal segitu,
akhirnya atas kesepakatan team, waktunya diundur seminggu. Waktu itu mepet
banget dengan waktu tes ku.
Seiring dengan berjalannya waktu, dan lagi-lagi tes kali ini
juga amanah orang tua, akhirnya harus aku relakan lagi untuk kegagalan naik
puncak Gunung Gede (Waktunya tabrakan). Ya, ini kegagalan kedua ku untuk
mendaki hingga puncak. (Kali ini gak pake acara nangis)
Dari pengalaman dua kali gagal inilah, prinsipku yang mulai
kendor, akhirnya kembali mengencang. Tidak mengubah plan yang ada kecuali
sangat mendesak. Siapapun tahu, aku tipikal yang gak suka rencananya
diacak-acak, jadinya pasti akan semakin gagal. Tapi lagi-lagi, Diri sendiri
tidak boleh egois.
Ingat yang pernah aku bilang, seburuk apapun keputusan
kelompok itu terhadap diri sendiri, keputusan itu harus disetujui dan
dilaksanakan alias utamakan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan
individu (balik ke pelajaran PPKN waktu SD). Nah, berhubung aku udah lulus SD
dengan nilai PPKN yang bagus dan berhubung juga aku udah dewasa, aku harus bisa
melakukannya. Toh, aku bukan anak SD yang gak pernah diajarin tentang hal itu
heheheheee (maaf kalo ada yang tersinggung).
Btw, lagi-lagi, sepertinya aku harus ngomong ini, karena ini
tulisannya mungkin akan membuat risih orang yang ngebacanya, aku mohon maaf ya.
Semata-mata, bagiku tulisan itu merupakan wadah untuk menuangkan emosi yang
terpendam. Dan juga jangan khawatir, aku orang yang cukup baik kok (di dunia
nyata). Hehehee :-p
0 comments:
Post a Comment