15 Juni 2014 - Menuju Puncak Pertama!
Pukul 02.00 WIB kami dibangunkan oleh alarm alami alias
dipanggilin buat bangun dan bersiap-siap untuk mulai mendaki kembali. Kami
membutuhkan sekitar 4 jam-an untuk mencapai puncak. Pendakian dimulai dengan 11
orang yang ingin mendaki sampai puncak, sedangkan 2 lagi yaitu Udin dan mas Eko
menjaga tenda.
Pada saat mendaki menuju puncak impian di hati, aku dijagain
sama Kopral dan Ria. Jadi selama pendakian Aku mengandalkan mereka banget. Saat
istirahat, kami beristirahat sebentar sambil menunggu yang lainnya, karena
posisi aku lumayan di depan.
Ada saat dimana Vero memperdengarkan lagu Sherina, akupun
ikut bernyanyi sambil mengingat masa-masa kecilku dulu. Akhirnya aku bisa
bernyanyi juga di gunung, tidak hanya dikepala, tapi suara itu langsung keluar
dari mulutku. Aku senang.
Ada saat dimana kami bisa memandang luas ke daratan (emang
lagi di laut?). Terhampar pemandangan lampu kota yang berjajar-jajar, berkelap
kelip seperti bintang semalam. Indah banget. Sayangnya aku tidak bisa memandang
lama-lama pemandangan itu. Keburu sadar diri kalo lagi berada di tempat yang
tinggi, kaki secara otomatis mundur ke tempat yang lebih aman. Huh! Susahnya
kalo punya sindrom takut ketinggian gini.
Selama menuju ke puncak, kami beberapa kali berpapasan lagi
dengan rombongan Fandi dkk. Kami saling bertegur sapa dan saling menyemangati.
Huah! Cepatnya mereka menyusul kami. Kira-kira jam berapa ya mereka mulai jalan
dari tempat campnya? Apa karena kaminya aja yang lama kebanyakan istirahat? Kalo
memang begitu, maafkanlah daku teman.
Oya, aku jadi inget niy. Aku dikerjain sama Kopral. Ketika
mendaki, dia bilang, “Puncaknya udah deket Rin. Liat deh pohonnya udah deket
dan tinggal sedikit, bulannya makin deket”. Huah, hati udah berbunga-bunga aja
dibilang udah mau nyampe puncak, ternyata itu adalah camuflase yang diciptakan
(entah secara sengaja atau tidak) untuk mengelabuhi seorang anak polos agar
tetap semangat maju kedepan.
Semakin mendekati tempat yang ditunjukin sama Kopral,
semakin nyatalah bahwa tempat itu gak lain dan gak bukan adalah Pos Pengasinan
yang mana masih 2 jam lagi untuk sampai di Puncaknya. Huh! Berasa pengen nangis
deng dibohongin gitu. Sekalian aja bilang, “Dek, ayo kita jalan lagi, ntar kalo
udah sampe puncak ada permen sama balon looh”. Ckckckkk Udah ngeboongin aku,
gak minta maaf lagi! Heheheee bercanda...
Tiba di Pos Pengasinan |
Empat cewek tangguh yang sampai di Pos Pengasinan |
Kami menyempatkan diri berfoto-foto dan membuat video untuk Udin karena udin gak bisa sampe puncak. Foto-foto yang diambil lucu-lucu. Coba liat deh!
Oya, lagi-lagi di pengasinan kami bertemu dengan Fandi dkk
yang juga ingin menikmati momen indahnya matahari terbit. Kami juga sempatkan
berfoto-foto bersama. Tapi sayang disayang, Fandi dkk gak akan lanjut mendaki
sampai puncak, mereka akan turun kebawah lalu pulang karena Aji sedang sakit.
Wah, salut sama loyalitas mereka terhadap tim! Salut juga buat Fandi, meskipun
paling muda, tapi bersikap dewasa mengambil keputusan!
Setelah puas berfoto-foto ria di pengasinan dengan latar
matahari terbit, kami meneruskan kembali pendakian kami. Namun, tim kami
berkurang. Farah sedang sakit, sehingga gak mampu untuk melanjutkan pendakian
ke puncak. Farah ditemani oleh Fauzi dan Pian. Farah bilang kalo dia akan
menunggu kami turun di Pengasinan. Jadilah kami naik menuju puncak.
Sesaat sebelum memutuskan untuk mendaki puncak, timbul
keraguan dalam diriku. Sanggup ya aku mendaki sampai puncak. Aku kan semalam
muntah, mana perutku masih sedikit gak enak. Gimana ya? Apa sebaiknya aku
nunggu disini bareng Farah dan yang lain? Keraguanku itu aku katakan ke Ria.
Ria bilang, “Muntah itu biasa Rin kalo pertama kali naik....”. Dari kata itu
aku langsung paham maksud Ria. Kalo pake bahasa Ria sehari-hari ke aku, “yaelah
Rin, muntah ini ajah. Naik lah, tanggung udah mau nyampe. Masa gitu aja udah
nyerah. Rini pasti bisa kok!” Kira-kira seperti itulah terjemahan dari
perkataan Ria itu. Kelihatannya Ria sedikit memperhalus kata-katanya karena
dibelakangku ada makhluk asing, yaitu Hasan. Yah, kami kan sejenis, kalo sama
orang yang baru dikenal, berusaha untuk tidak berbicara kasar atau
keterlaluan.
Saat mendaki menuju puncak, Ria berjalan di depanku dengan
cepat, hingga akhirnya aku tertinggal bersama Iqna. Sebenarnya sejak awal
pendakian aku selalu bersama dengan Iqna, gak pernah jauh. Iqna juga pemula
naik gunung, sama sepertiku. Tapi aku jelas lebih merepotkan tim dibandingkan
Iqna. Heheheee Maaf yaa...
Aku dan Iqna mendaki pelan-pelan asal sampai dengan selamat.
Kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto ria selama mendaki kali ini,
mengingat pada saat mendaki sebelumnya kami tidak banyak berfoto. Sangking
keasyikannya kami berfoto, sampe-sampe Hasan negur kami biar jalan cepet. Huh!
Hasan lagi Hasan lagi! Ditengah perjalanan, kami bertemu dengan Vero dan Ria
yang sedang bersantai menunggu kami.
Aku, Ria, dan Iqna akhirnya berjalan menyongsong puncak
Ciremai. Sedang Vero sepertinya sedang asyik ngobrol dengan hasan.
Dengan
perjuangan keras, akhirnya aku bisa juga sampai puncak setelah Ria dan Iqna
terlebih dahulu sampai di Puncak. Saat mendekati puncak, aku bisa mendengar
suara Ria memanggil namaku. Begitu tiba di puncak, eh Ria udah siap berpose aja
sama tim yang entah dari mana.
Diperkenalkan oleh Ria secara singkat, ternyata mereka
adalah tim yang berasal dari Depok. Karena berasal dari kota yang sama, kami
memutuskan untuk ikutan bernarsis ria di Puncak Ini.
Setelah puas berfoto dengan tim dari Depok, ternyata sudah
ada Kopral yang balik lagi ke tempat kami (Kopral sebenarnya udah separuh jalan
menuju puncak tertinggi Ciremai). Kopral mengajak kami berjalan mengitari kawah
curam untuk mencapai puncak tertinggi. Aku langsung bilang Tidak.
Bagiku untuk tiba di puncak ini saja udah alhamdulillah
banget. Ngeliat kawah besar yang dalam dari pinggir aja aku udah gemetaran dan
kepalaku mendadak pusing. Gimana aku bisa berjalan mengelilingi sekitar kawah
itu dengan baik-baik saja. Aku lebih memilih menunggu mereka saja dibandingkan
harus mengelilingi kawah.
Foto bareng pake bendera pinjeman dari team Depok |
Ketika aku berkata begitu, Ria juga memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Ria memilih untuk stay dan mengambil video di puncak sini. Hatiku berkecamuk saat itu. Aku tahu banget Ria itu gimana. Dia gak akan mau ngelakuin setengah-setengah, apalagi ini udah hampir sampai, tinggal muterin kawah lagi. Dia akan pergi menuju puncak itu walau hanya sendiri. Tapi kenapa dia berkata sampai disini aja? Ini masih misteri bagiku. (Berharap jawabannya Ria tuliskan di tulisan dia)
Sesuai kesepakatan sebelumnya, Aku, Ria, dan Iqna yang
membawa Toga mulai sibuk bersiap-siap dengan sesi pemotretan yang akan kami
lakukan. Dengan latar puncak gunung, kawah, sedikit bunga edelweis, awal yang
bentuknya aneh kayak awan(loh?!), dan kabut yang gak mau mengalah.
Foto pake toga. Wisuda kedua di Gn. Ciremai |
Selain berfoto-foto menggunakan toga, kami juga membuat tulisan-tulisan yang ingin kami sampaikan, dan tak lupa pula membuat video untuk orang yang kami sayangi. Oya, waktu berfoto pake toga di dekat pinggir kawah, aku sumpah gemetaran banget. Bahkan ada niy ya saat dimana tpi togaku hampir jatuh ke bawah kawah, jantungku juga berasa mau jatuh. Tapi, aku tetap mencoba stay cool (padahal aslinya mata udah berkunang-kunang waktu ngambil topi di pinggir kawah).
Setelah puas berfoto-foto dan karena kabut gak mau ngalah
sama keinginan, kami akhirnya memutuskan untuk turun sekitar jam 9. Ketika
turun, yang ada dipikiranku yang pertama adalah makanan udah masak belum ya,
siapa yang masak, dan sejenisnya. Dengan langkah cepat dan sedikit terburu-buru
aku turun. Sampe-sampe aku dipuji sama Kopral kal turunnya cepet banget. Hehehee
Sesuai dengan prediksiku, ternyata masakan belom ada yang
masak. Langsunglah aku gerak cepat. Sebenarnya pengen marah siy, soalnya
seingat aku ada yang bilang akan memasakkan makanan. Tapi jangankan lauk, nasi
aja gak ada yang masak. Cuma ya aku pikir lagi, buat apa marah-marah toh udah
kejadian, yang penting adalah segera masak sebelum yang lain sampe dan kelaperan.
Ingat! Kelaperan bisa memicu emosi.
Sedang siap-siap untuk masak, aku dan Ria gak nemu-nemu gas
kelompok kami. Aku saat itu gak terlalu fokus dengan gas, seingatku gas itu
dipake waktu malam-malam ada yang masak. Nah, Cuma kan kami kasih satu (seingatku),
artinya kami masih ada satu gas lagi yang masih full. Pertanyaannya, dimanakah
gas satu itu? Karena gak nemu-nemu, Ria akhirnya ngeluarin juga nada tingginya
(Tuh kan, laper itu bisa memacu emosi).
Aku hapal banget Ria yang gitu, dia gak akan marah ke siapa
pun dengan terus terang gitu. Ria Cuma terus memanggil namaku dengan nada kesal
dan nanya berulang kali dimana gas kelompok kita. Bukan berarti Ria marah sama
aku, Ria itu Cuma mau nunjukkin kekesalan dia. Jangan salah paham ya pembaca
sekalian, kami gak berantem kok. Akhirnya, aku bantuin Ria nyari gas kelompok
kami. Karena aku tahu banget, Ria gak akan berhenti ngomong, “Rin, gas kita
dimana? Blablaaa” sampe itu gas yang dicari disodorin dimata dia.
Dicari dimanapun tuh gas gak ketemu. Yah, gimana mau masak
nasi kalo gas nya gak ada. Gak lama kemudian, turunlah teman-teman yang lain.
Pas ditanyain ke Vero ternyata semua gas milik kami semalam dikasihin ke Hasan.
So, gak yang kami cari ada di hasan. (-__-)
Aku dah gak ngerti lagi dah ini kondisi. Kepala ku udah
pusing banget. Semua rencana memasak berubah. Yah, mau gimana lagi. Aku tahu
banget, aku kan lagi jalan dengan orang yang baru dikenal dan aku gak boleh
egois. Yah, lagi-lagi ketentraman kehidupan yang aku bangun keusik. Rini, si
tipe yang gak suka diganggu planningnya (secara aku diamanahin PJ air dan
makanan), di sentil dikit, berasa kayak gunung berapi bawah laut yang siap
meletus. Yaudah, daripada buat suasana gak enak. Aku iyain aja, tapi aku juga
segera beranjak dari sana (gak nerusin masak lagi). Masih marah tingkat 1 versi
Rini.
Lalu, saat akan makan, aku terkejut banget, bahkan temen
satu kelompokku pun udah kayak gitu. Yah, mungkin aku yang lebay kali yah.
Kaku, sesuai planning, dan sejenisnya. Jadi, pas makan, tanpa minta izin sama
aku (perjanjian kita diawalnya harus minta izin ke PJ kan ya?), semua makanan
dibentangin jadi satu. Padahal aku udah sempet bilang dibagi dua buat makan
ntar sore. Bukannya aku gak suka makan bareng-bareng, tapi gak gitu juga
caranya teman.
Kesel sama semuanya terutama sama diri aku sendiri, aku Cuma
terdiam saat makan. Karena berasa kesalnya itu sampe membuat tenggorokanku
menolak untuk dimasukkan makanan. Setelah selesai dengan 5 sendok, aku langsung
berdiri tanpa bilang apa-apa. Wajar kalo mereka merasa aku belom makan.
Ngeliat aku yang gitu, mungkin temen-temen yang lain
khawatir maag ku akan kumat karena sepertinya aku cuma makan sedikit (emang
bener siy). Tapi disisi lain, air mataku itu udah mau jatuh. Aku sengaja
menyingkir dari kerumunan mereka yang sedang makan. Ntar ketahuan lagi bakat
aku nangis bisa sambil ngapainpun, termasuk nangis sambil makan. Emang temenku,
Vero, niatnya baik banget buat nyuapin aku makan, datang disaat yang gak tepat.
Aku udah bilang kalo aku udah kenyang dan gak mau makan lagi, tapi Vero tetap
memaksa aku untuk makan. Alhasil, air mata yang ku tahan, tumpah juga. Udah
masuk tingkat 3 soalnya.
Pikiranku beneran amburadul saat itu, bahkan aku seperti
linglung waktu sedang melipat sleeping bag. Sampe-sampe Udin dan Iqna ngebatuin
ngelipatin sleeping bag ku. Ria ngebantuin aku packing. Saat itu beneran aku
lemes banget, lemes nahan emosi.
0 comments:
Post a Comment